Rabu, 01 Desember 2010

Ponimin selamat berkat bantal… Letih dan galau masih tampak di rona wajah, Ponimin, 49, warga Kaliadem yang selamat dari amukan awan panas Merapi, Selasa (26/10) sore. Ponimin selamat bersama delapan anggota keluarga yang lain, setelah hampir empat jam dikepung debu panas. Pria yang akrab disapa Haji Ponimin itu kini dirawat di klinik milik salah satu koleganya, di kawasan Ngemplak, Sleman. Dia hanya menderita luka melepuh di kaki. Dengan kalimat tegas, Ponimin menceritakan pengalamannya menyaksikan terjangan awan panas, termasuk pengalaman spiritual yang ia alami. Usai menunaikan Salat Maghrib, seperti biasa ia masih tekun berzikir di rumahnya. Istrinya, Yati, tengah mengaji di ruang depan. Tiba-tiba datang orang tua berpakaian kejawen menyampaikan pesan akan datang awan panas yang menghancurkan desa. Paham dengan pengalaman sebelumnya, Ponimin lantas turun ke luar rumah mencari daun dadap serep dan awar-awar. Rumah yang ia tinggali hanya berjarak tak lebih dari 500 meter sebelah Timur rumah juru kunci Merapi yang ikut jadi korban Merapi, Mbah Maridjan. “Kalau dua daun itu disatukan dan kita minta kepada Tuhan, biasanya bencana tidak terjadi. Tapi saya terlambat. Istri saya terlanjur menolak orangtua. Tiba-tiba api merah menyala menyembur,” ujarnya mengenang peristiwa terjangan awan panas. Ia bersama delapan anggota keluarganya lantas berlindung ke dalam rumah, meski kaca-kaca rumah hancur. Yang ia lakukan saat itu hanya pasrah pada Tuhan dan terus memanjatkan doa di tengah ancaman badai awan panas di luar rumahnya. Ia mengaku sempat mengontak beberapa orang yang dikenalnya untuk meminta bantuan, namun tak berhasil karena kondisi kacau-balau. “Sekitar jam 22.10 kami mencoba keluar menggunakan mobil, namun tak berhasil karena roda mobil meletus terkena panas,” paparnya. Di luar, abu panas menutupi jalan setinggi kira-kira 30 cm. Gunakan bantal Sampai akhirnya terbesit dalam pikirannya menggunakan bantal tebal di rumahnya sebagai pijakan kaki untuk menuju daerah aman. Tak kurang dari 1 Km, ia bersama delapan anggota keluarganya, termasuk pemuda bernama Pandu, berjalan di atas bantal, menuju jalan aspal jauh di bawah rumahnya. Di sana, ia dijemput seorang warga yang lantas mengantarkannya menuju barak pengungsian Kepuharjo. Dari barak, ia dan keluarga dijemput ambulans yang mengantarkannya ke RS Panti Nugroho, Pakem. Cerita ini sekaligus menganulir pemberitaan di harian ini, edisi Rabu (27/10). Disebutkan Mbah Maridjan, juru kunci Merapi yang tinggal di Kinahrejo, ditemukan tim evakuasi dari TNI AL dalam keadaan selamat namun lemas. Ternyata, yang dimaksud tim evakuasi dengan Mbah Maridjan adalah Ponimin yang bertahan di tengah abu panas selama 4 jam. Ponimin sendiri mengaku siap kembali ke rumahnya jika kondisi sudah kembali normal. Ia meyakini Tuhan pasti akan memberikan kebaikan jika hamba-Nya selalu taat dan percaya. Ia tak menampik, selama ini ia kerap mendapat pesan gaib, jika akan ada bencana Merapi. Pada erupsi kali ini, ia mengaku beberapa kali didatangi orangtua berpakaian kejawen yang memintanya untuk tetap tinggal. Jika tidak, maka Keraton Yogyakarta akan dihancurkan. “Saya yakin kalau saya pergi waktu itu, Cangkringan akan terkena terjangan,” tambah dia. Dari pesan yang ia dapatkan juga, saat ini Merapi masih ada kegiatan lain yang lebih besar. Namun ia mengaku tak tahu kapan itu terjadi, apakah berlanjut dari erupsi sebelumnya atau di waktu yang lain. Bahkan dasyatnya kegiatan Merapi tersebut, kata dia, akan menyatukan Kali Boyong dan Kali Kuning. Kisah keluarga Ponimin ini sempat menyentak masyarakat, karena saat mereka terjebak di rumahnya. Beberapa orang bahkan sempat bisa menghubungi. Dan setiap pembicaraan terhubung, permohonan untuk segera dievakuasi dilontarkan. Termasuk pada Selasa (26/10) malam sekitar pukul 22.00 WIB, Harian Jogja menghubungi, Lia, putri Ponimin, yang langsung minta segera ditolong. “Nyuwun tulung Mas, kami mohon segera dievakuasi. Kami semua selamat, tapi ruangan ini panas sekali…,” pinta Lia saat itu. Cerita lain di balik penyelamatan keluarga Ponimin, adalah kisah heroik pemuda bernama Pandu Dani Nugroho, 20. Pemuda asal Wonogondang, dusun di bawah Kaliadem ini, nekad mengambil risiko menghadapi awan panas yang sudah meluluhlantakkan Kinahrejo, dengan satu tekad mengantarkan tabung oksigen buat keluarga Ponimin yang terjebak awan panas. Seperti dikisahkan Bambang, ayah Pandu, kepada Harian Jogja, tebalnya abu vulkanik yang menutup jalan membuat ia terjatuh dari motor, namun tabung oksigen tetap bisa dimanfaatkan untuk membantu keluarga tersebut. Pandu dan keluarga Ponimin baru bisa keluar dari rumah dan menyelamatkan diri ke tempat yang lebih aman sekitar pukul 22.30 WIB. Pandu selamat dengan luka melepuh di kakinya. Namun keberaniannya, telah menyelamatkan tujuh anggota keluarga Ponimin.(Harian Jogja/Galih Kurniawan & Desi Suryanto)Ponimin selamat berkat bantal… Letih dan galau masih tampak di rona wajah, Ponimin, 49, warga Kaliadem yang selamat dari amukan awan panas Merapi, Selasa (26/10) sore. Ponimin selamat bersama delapan anggota keluarga yang lain, setelah hampir empat jam dikepung debu panas. Pria yang akrab disapa Haji Ponimin itu kini dirawat di klinik milik salah satu koleganya, di kawasan Ngemplak, Sleman. Dia hanya menderita luka melepuh di kaki. Dengan kalimat tegas, Ponimin menceritakan pengalamannya menyaksikan terjangan awan panas, termasuk pengalaman spiritual yang ia alami. Usai menunaikan Salat Maghrib, seperti biasa ia masih tekun berzikir di rumahnya. Istrinya, Yati, tengah mengaji di ruang depan. Tiba-tiba datang orang tua berpakaian kejawen menyampaikan pesan akan datang awan panas yang menghancurkan desa. Paham dengan pengalaman sebelumnya, Ponimin lantas turun ke luar rumah mencari daun dadap serep dan awar-awar. Rumah yang ia tinggali hanya berjarak tak lebih dari 500 meter sebelah Timur rumah juru kunci Merapi yang ikut jadi korban Merapi, Mbah Maridjan. “Kalau dua daun itu disatukan dan kita minta kepada Tuhan, biasanya bencana tidak terjadi. Tapi saya terlambat. Istri saya terlanjur menolak orangtua. Tiba-tiba api merah menyala menyembur,” ujarnya mengenang peristiwa terjangan awan panas. Ia bersama delapan anggota keluarganya lantas berlindung ke dalam rumah, meski kaca-kaca rumah hancur. Yang ia lakukan saat itu hanya pasrah pada Tuhan dan terus memanjatkan doa di tengah ancaman badai awan panas di luar rumahnya. Ia mengaku sempat mengontak beberapa orang yang dikenalnya untuk meminta bantuan, namun tak berhasil karena kondisi kacau-balau. “Sekitar jam 22.10 kami mencoba keluar menggunakan mobil, namun tak berhasil karena roda mobil meletus terkena panas,” paparnya. Di luar, abu panas menutupi jalan setinggi kira-kira 30 cm. Gunakan bantal Sampai akhirnya terbesit dalam pikirannya menggunakan bantal tebal di rumahnya sebagai pijakan kaki untuk menuju daerah aman. Tak kurang dari 1 Km, ia bersama delapan anggota keluarganya, termasuk pemuda bernama Pandu, berjalan di atas bantal, menuju jalan aspal jauh di bawah rumahnya. Di sana, ia dijemput seorang warga yang lantas mengantarkannya menuju barak pengungsian Kepuharjo. Dari barak, ia dan keluarga dijemput ambulans yang mengantarkannya ke RS Panti Nugroho, Pakem. Cerita ini sekaligus menganulir pemberitaan di harian ini, edisi Rabu (27/10). Disebutkan Mbah Maridjan, juru kunci Merapi yang tinggal di Kinahrejo, ditemukan tim evakuasi dari TNI AL dalam keadaan selamat namun lemas. Ternyata, yang dimaksud tim evakuasi dengan Mbah Maridjan adalah Ponimin yang bertahan di tengah abu panas selama 4 jam. Ponimin sendiri mengaku siap kembali ke rumahnya jika kondisi sudah kembali normal. Ia meyakini Tuhan pasti akan memberikan kebaikan jika hamba-Nya selalu taat dan percaya. Ia tak menampik, selama ini ia kerap mendapat pesan gaib, jika akan ada bencana Merapi. Pada erupsi kali ini, ia mengaku beberapa kali didatangi orangtua berpakaian kejawen yang memintanya untuk tetap tinggal. Jika tidak, maka Keraton Yogyakarta akan dihancurkan. “Saya yakin kalau saya pergi waktu itu, Cangkringan akan terkena terjangan,” tambah dia. Dari pesan yang ia dapatkan juga, saat ini Merapi masih ada kegiatan lain yang lebih besar. Namun ia mengaku tak tahu kapan itu terjadi, apakah berlanjut dari erupsi sebelumnya atau di waktu yang lain. Bahkan dasyatnya kegiatan Merapi tersebut, kata dia, akan menyatukan Kali Boyong dan Kali Kuning. Kisah keluarga Ponimin ini sempat menyentak masyarakat, karena saat mereka terjebak di rumahnya. Beberapa orang bahkan sempat bisa menghubungi. Dan setiap pembicaraan terhubung, permohonan untuk segera dievakuasi dilontarkan. Termasuk pada Selasa (26/10) malam sekitar pukul 22.00 WIB, Harian Jogja menghubungi, Lia, putri Ponimin, yang langsung minta segera ditolong. “Nyuwun tulung Mas, kami mohon segera dievakuasi. Kami semua selamat, tapi ruangan ini panas sekali…,” pinta Lia saat itu. Cerita lain di balik penyelamatan keluarga Ponimin, adalah kisah heroik pemuda bernama Pandu Dani Nugroho, 20. Pemuda asal Wonogondang, dusun di bawah Kaliadem ini, nekad mengambil risiko menghadapi awan panas yang sudah meluluhlantakkan Kinahrejo, dengan satu tekad mengantarkan tabung oksigen buat keluarga Ponimin yang terjebak awan panas. Seperti dikisahkan Bambang, ayah Pandu, kepada Harian Jogja, tebalnya abu vulkanik yang menutup jalan membuat ia terjatuh dari motor, namun tabung oksigen tetap bisa dimanfaatkan untuk membantu keluarga tersebut. Pandu dan keluarga Ponimin baru bisa keluar dari rumah dan menyelamatkan diri ke tempat yang lebih aman sekitar pukul 22.30 WIB. Pandu selamat dengan luka melepuh di kakinya. Namun keberaniannya, telah menyelamatkan tujuh anggota keluarga Ponimin.(Harian Jogja/Galih Kurniawan & Desi Suryanto)Ponimin selamat berkat bantal… Letih dan galau masih tampak di rona wajah, Ponimin, 49, warga Kaliadem yang selamat dari amukan awan panas Merapi, Selasa (26/10) sore. Ponimin selamat bersama delapan anggota keluarga yang lain, setelah hampir empat jam dikepung debu panas. Pria yang akrab disapa Haji Ponimin itu kini dirawat di klinik milik salah satu koleganya, di kawasan Ngemplak, Sleman. Dia hanya menderita luka melepuh di kaki. Dengan kalimat tegas, Ponimin menceritakan pengalamannya menyaksikan terjangan awan panas, termasuk pengalaman spiritual yang ia alami. Usai menunaikan Salat Maghrib, seperti biasa ia masih tekun berzikir di rumahnya. Istrinya, Yati, tengah mengaji di ruang depan. Tiba-tiba datang orang tua berpakaian kejawen menyampaikan pesan akan datang awan panas yang menghancurkan desa. Paham dengan pengalaman sebelumnya, Ponimin lantas turun ke luar rumah mencari daun dadap serep dan awar-awar. Rumah yang ia tinggali hanya berjarak tak lebih dari 500 meter sebelah Timur rumah juru kunci Merapi yang ikut jadi korban Merapi, Mbah Maridjan. “Kalau dua daun itu disatukan dan kita minta kepada Tuhan, biasanya bencana tidak terjadi. Tapi saya terlambat. Istri saya terlanjur menolak orangtua. Tiba-tiba api merah menyala menyembur,” ujarnya mengenang peristiwa terjangan awan panas. Ia bersama delapan anggota keluarganya lantas berlindung ke dalam rumah, meski kaca-kaca rumah hancur. Yang ia lakukan saat itu hanya pasrah pada Tuhan dan terus memanjatkan doa di tengah ancaman badai awan panas di luar rumahnya. Ia mengaku sempat mengontak beberapa orang yang dikenalnya untuk meminta bantuan, namun tak berhasil karena kondisi kacau-balau. “Sekitar jam 22.10 kami mencoba keluar menggunakan mobil, namun tak berhasil karena roda mobil meletus terkena panas,” paparnya. Di luar, abu panas menutupi jalan setinggi kira-kira 30 cm. Gunakan bantal Sampai akhirnya terbesit dalam pikirannya menggunakan bantal tebal di rumahnya sebagai pijakan kaki untuk menuju daerah aman. Tak kurang dari 1 Km, ia bersama delapan anggota keluarganya, termasuk pemuda bernama Pandu, berjalan di atas bantal, menuju jalan aspal jauh di bawah rumahnya. Di sana, ia dijemput seorang warga yang lantas mengantarkannya menuju barak pengungsian Kepuharjo. Dari barak, ia dan keluarga dijemput ambulans yang mengantarkannya ke RS Panti Nugroho, Pakem. Cerita ini sekaligus menganulir pemberitaan di harian ini, edisi Rabu (27/10). Disebutkan Mbah Maridjan, juru kunci Merapi yang tinggal di Kinahrejo, ditemukan tim evakuasi dari TNI AL dalam keadaan selamat namun lemas. Ternyata, yang dimaksud tim evakuasi dengan Mbah Maridjan adalah Ponimin yang bertahan di tengah abu panas selama 4 jam. Ponimin sendiri mengaku siap kembali ke rumahnya jika kondisi sudah kembali normal. Ia meyakini Tuhan pasti akan memberikan kebaikan jika hamba-Nya selalu taat dan percaya. Ia tak menampik, selama ini ia kerap mendapat pesan gaib, jika akan ada bencana Merapi. Pada erupsi kali ini, ia mengaku beberapa kali didatangi orangtua berpakaian kejawen yang memintanya untuk tetap tinggal. Jika tidak, maka Keraton Yogyakarta akan dihancurkan. “Saya yakin kalau saya pergi waktu itu, Cangkringan akan terkena terjangan,” tambah dia. Dari pesan yang ia dapatkan juga, saat ini Merapi masih ada kegiatan lain yang lebih besar. Namun ia mengaku tak tahu kapan itu terjadi, apakah berlanjut dari erupsi sebelumnya atau di waktu yang lain. Bahkan dasyatnya kegiatan Merapi tersebut, kata dia, akan menyatukan Kali Boyong dan Kali Kuning. Kisah keluarga Ponimin ini sempat menyentak masyarakat, karena saat mereka terjebak di rumahnya. Beberapa orang bahkan sempat bisa menghubungi. Dan setiap pembicaraan terhubung, permohonan untuk segera dievakuasi dilontarkan. Termasuk pada Selasa (26/10) malam sekitar pukul 22.00 WIB, Harian Jogja menghubungi, Lia, putri Ponimin, yang langsung minta segera ditolong. “Nyuwun tulung Mas, kami mohon segera dievakuasi. Kami semua selamat, tapi ruangan ini panas sekali…,” pinta Lia saat itu. Cerita lain di balik penyelamatan keluarga Ponimin, adalah kisah heroik pemuda bernama Pandu Dani Nugroho, 20. Pemuda asal Wonogondang, dusun di bawah Kaliadem ini, nekad mengambil risiko menghadapi awan panas yang sudah meluluhlantakkan Kinahrejo, dengan satu tekad mengantarkan tabung oksigen buat keluarga Ponimin yang terjebak awan panas. Seperti dikisahkan Bambang, ayah Pandu, kepada Harian Jogja, tebalnya abu vulkanik yang menutup jalan membuat ia terjatuh dari motor, namun tabung oksigen tetap bisa dimanfaatkan untuk membantu keluarga tersebut. Pandu dan keluarga Ponimin baru bisa keluar dari rumah dan menyelamatkan diri ke tempat yang lebih aman sekitar pukul 22.30 WIB. Pandu selamat dengan luka melepuh di kakinya. Namun keberaniannya, telah menyelamatkan tujuh anggota keluarga Ponimin.(Harian Jogja/Galih Kurniawan & Desi Suryanto)Letih dan galau masih tampak di rona wajah, Ponimin, 49, warga Kaliadem yang selamat dari amukan awan panas Merapi, Selasa (26/10) sore. Ponimin selamat bersama delapan anggota keluarga yang lain, setelah hampir empat jam dikepung debu panas. Pria yang akrab disapa Haji Ponimin itu kini dirawat di klinik milik salah satu koleganya, di kawasan Ngemplak, Sleman. Dia hanya menderita luka melepuh di kaki. Dengan kalimat tegas, Ponimin menceritakan pengalamannya menyaksikan terjangan awan panas, termasuk pengalaman spiritual yang ia alami. Usai menunaikan Salat Maghrib, seperti biasa ia masih tekun berzikir di rumahnya. Istrinya, Yati, tengah mengaji di ruang depan. Tiba-tiba datang orang tua berpakaian kejawen menyampaikan pesan akan datang awan panas yang menghancurkan desa. Paham dengan pengalaman sebelumnya, Ponimin lantas turun ke luar rumah mencari daun dadap serep dan awar-awar. Rumah yang ia tinggali hanya berjarak tak lebih dari 500 meter sebelah Timur rumah juru kunci Merapi yang ikut jadi korban Merapi, Mbah Maridjan. “Kalau dua daun itu disatukan dan kita minta kepada Tuhan, biasanya bencana tidak terjadi. Tapi saya terlambat. Istri saya terlanjur menolak orangtua. Tiba-tiba api merah menyala menyembur,” ujarnya mengenang peristiwa terjangan awan panas. Ia bersama delapan anggota keluarganya lantas berlindung ke dalam rumah, meski kaca-kaca rumah hancur. Yang ia lakukan saat itu hanya pasrah pada Tuhan dan terus memanjatkan doa di tengah ancaman badai awan panas di luar rumahnya. Ia mengaku sempat mengontak beberapa orang yang dikenalnya untuk meminta bantuan, namun tak berhasil karena kondisi kacau-balau. “Sekitar jam 22.10 kami mencoba keluar menggunakan mobil, namun tak berhasil karena roda mobil meletus terkena panas,” paparnya. Di luar, abu panas menutupi jalan setinggi kira-kira 30 cm. Gunakan bantal Sampai akhirnya terbesit dalam pikirannya menggunakan bantal tebal di rumahnya sebagai pijakan kaki untuk menuju daerah aman. Tak kurang dari 1 Km, ia bersama delapan anggota keluarganya, termasuk pemuda bernama Pandu, berjalan di atas bantal, menuju jalan aspal jauh di bawah rumahnya. Di sana, ia dijemput seorang warga yang lantas mengantarkannya menuju barak pengungsian Kepuharjo. Dari barak, ia dan keluarga dijemput ambulans yang mengantarkannya ke RS Panti Nugroho, Pakem. Cerita ini sekaligus menganulir pemberitaan di harian ini, edisi Rabu (27/10). Disebutkan Mbah Maridjan, juru kunci Merapi yang tinggal di Kinahrejo, ditemukan tim evakuasi dari TNI AL dalam keadaan selamat namun lemas. Ternyata, yang dimaksud tim evakuasi dengan Mbah Maridjan adalah Ponimin yang bertahan di tengah abu panas selama 4 jam. Ponimin sendiri mengaku siap kembali ke rumahnya jika kondisi sudah kembali normal. Ia meyakini Tuhan pasti akan memberikan kebaikan jika hamba-Nya selalu taat dan percaya. Ia tak menampik, selama ini ia kerap mendapat pesan gaib, jika akan ada bencana Merapi. Pada erupsi kali ini, ia mengaku beberapa kali didatangi orangtua berpakaian kejawen yang memintanya untuk tetap tinggal. Jika tidak, maka Keraton Yogyakarta akan dihancurkan. “Saya yakin kalau saya pergi waktu itu, Cangkringan akan terkena terjangan,” tambah dia. Dari pesan yang ia dapatkan juga, saat ini Merapi masih ada kegiatan lain yang lebih besar. Namun ia mengaku tak tahu kapan itu terjadi, apakah berlanjut dari erupsi sebelumnya atau di waktu yang lain. Bahkan dasyatnya kegiatan Merapi tersebut, kata dia, akan menyatukan Kali Boyong dan Kali Kuning. Kisah keluarga Ponimin ini sempat menyentak masyarakat, karena saat mereka terjebak di rumahnya. Beberapa orang bahkan sempat bisa menghubungi. Dan setiap pembicaraan terhubung, permohonan untuk segera dievakuasi dilontarkan. Termasuk pada Selasa (26/10) malam sekitar pukul 22.00 WIB, Harian Jogja menghubungi, Lia, putri Ponimin, yang langsung minta segera ditolong. “Nyuwun tulung Mas, kami mohon segera dievakuasi. Kami semua selamat, tapi ruangan ini panas sekali…,” pinta Lia saat itu. Cerita lain di balik penyelamatan keluarga Ponimin, adalah kisah heroik pemuda bernama Pandu Dani Nugroho, 20. Pemuda asal Wonogondang, dusun di bawah Kaliadem ini, nekad mengambil risiko menghadapi awan panas yang sudah meluluhlantakkan Kinahrejo, dengan satu tekad mengantarkan tabung oksigen buat keluarga Ponimin yang terjebak awan panas. Seperti dikisahkan Bambang, ayah Pandu, kepada Harian Jogja, tebalnya abu vulkanik yang menutup jalan membuat ia terjatuh dari motor, namun tabung oksigen tetap bisa dimanfaatkan untuk membantu keluarga tersebut. Pandu dan keluarga Ponimin baru bisa keluar dari rumah dan menyelamatkan diri ke tempat yang lebih aman sekitar pukul 22.30 WIB. Pandu selamat dengan luka melepuh di kakinya. Namun keberaniannya, telah menyelamatkan tujuh anggota keluarga Ponimin.(Harian Jogja/Galih Kurniawan & Desi Suryanto)Letih dan galau masih tampak di rona wajah, Ponimin, 49, warga Kaliadem yang selamat dari amukan awan panas Merapi, Selasa (26/10) sore. Ponimin selamat bersama delapan anggota keluarga yang lain, setelah hampir empat jam dikepung debu panas. Pria yang akrab disapa Haji Ponimin itu kini dirawat di klinik milik salah satu koleganya, di kawasan Ngemplak, Sleman. Dia hanya menderita luka melepuh di kaki. Dengan kalimat tegas, Ponimin menceritakan pengalamannya menyaksikan terjangan awan panas, termasuk pengalaman spiritual yang ia alami. Usai menunaikan Salat Maghrib, seperti biasa ia masih tekun berzikir di rumahnya. Istrinya, Yati, tengah mengaji di ruang depan. Tiba-tiba datang orang tua berpakaian kejawen menyampaikan pesan akan datang awan panas yang menghancurkan desa. Paham dengan pengalaman sebelumnya, Ponimin lantas turun ke luar rumah mencari daun dadap serep dan awar-awar. Rumah yang ia tinggali hanya berjarak tak lebih dari 500 meter sebelah Timur rumah juru kunci Merapi yang ikut jadi korban Merapi, Mbah Maridjan. “Kalau dua daun itu disatukan dan kita minta kepada Tuhan, biasanya bencana tidak terjadi. Tapi saya terlambat. Istri saya terlanjur menolak orangtua. Tiba-tiba api merah menyala menyembur,” ujarnya mengenang peristiwa terjangan awan panas. Ia bersama delapan anggota keluarganya lantas berlindung ke dalam rumah, meski kaca-kaca rumah hancur. Yang ia lakukan saat itu hanya pasrah pada Tuhan dan terus memanjatkan doa di tengah ancaman badai awan panas di luar rumahnya. Ia mengaku sempat mengontak beberapa orang yang dikenalnya untuk meminta bantuan, namun tak berhasil karena kondisi kacau-balau. “Sekitar jam 22.10 kami mencoba keluar menggunakan mobil, namun tak berhasil karena roda mobil meletus terkena panas,” paparnya. Di luar, abu panas menutupi jalan setinggi kira-kira 30 cm. Gunakan bantal Sampai akhirnya terbesit dalam pikirannya menggunakan bantal tebal di rumahnya sebagai pijakan kaki untuk menuju daerah aman. Tak kurang dari 1 Km, ia bersama delapan anggota keluarganya, termasuk pemuda bernama Pandu, berjalan di atas bantal, menuju jalan aspal jauh di bawah rumahnya. Di sana, ia dijemput seorang warga yang lantas mengantarkannya menuju barak pengungsian Kepuharjo. Dari barak, ia dan keluarga dijemput ambulans yang mengantarkannya ke RS Panti Nugroho, Pakem. Cerita ini sekaligus menganulir pemberitaan di harian ini, edisi Rabu (27/10). Disebutkan Mbah Maridjan, juru kunci Merapi yang tinggal di Kinahrejo, ditemukan tim evakuasi dari TNI AL dalam keadaan selamat namun lemas. Ternyata, yang dimaksud tim evakuasi dengan Mbah Maridjan adalah Ponimin yang bertahan di tengah abu panas selama 4 jam. Ponimin sendiri mengaku siap kembali ke rumahnya jika kondisi sudah kembali normal. Ia meyakini Tuhan pasti akan memberikan kebaikan jika hamba-Nya selalu taat dan percaya. Ia tak menampik, selama ini ia kerap mendapat pesan gaib, jika akan ada bencana Merapi. Pada erupsi kali ini, ia mengaku beberapa kali didatangi orangtua berpakaian kejawen yang memintanya untuk tetap tinggal. Jika tidak, maka Keraton Yogyakarta akan dihancurkan. “Saya yakin kalau saya pergi waktu itu, Cangkringan akan terkena terjangan,” tambah dia. Dari pesan yang ia dapatkan juga, saat ini Merapi masih ada kegiatan lain yang lebih besar. Namun ia mengaku tak tahu kapan itu terjadi, apakah berlanjut dari erupsi sebelumnya atau di waktu yang lain. Bahkan dasyatnya kegiatan Merapi tersebut, kata dia, akan menyatukan Kali Boyong dan Kali Kuning. Kisah keluarga Ponimin ini sempat menyentak masyarakat, karena saat mereka terjebak di rumahnya. Beberapa orang bahkan sempat bisa menghubungi. Dan setiap pembicaraan terhubung, permohonan untuk segera dievakuasi dilontarkan. Termasuk pada Selasa (26/10) malam sekitar pukul 22.00 WIB, Harian Jogja menghubungi, Lia, putri Ponimin, yang langsung minta segera ditolong. “Nyuwun tulung Mas, kami mohon segera dievakuasi. Kami semua selamat, tapi ruangan ini panas sekali…,” pinta Lia saat itu. Cerita lain di balik penyelamatan keluarga Ponimin, adalah kisah heroik pemuda bernama Pandu Dani Nugroho, 20. Pemuda asal Wonogondang, dusun di bawah Kaliadem ini, nekad mengambil risiko menghadapi awan panas yang sudah meluluhlantakkan Kinahrejo, dengan satu tekad mengantarkan tabung oksigen buat keluarga Ponimin yang terjebak awan panas. Seperti dikisahkan Bambang, ayah Pandu, kepada Harian Jogja, tebalnya abu vulkanik yang menutup jalan membuat ia terjatuh dari motor, namun tabung oksigen tetap bisa dimanfaatkan untuk membantu keluarga tersebut. Pandu dan keluarga Ponimin baru bisa keluar dari rumah dan menyelamatkan diri ke tempat yang lebih aman sekitar pukul 22.30 WIB. Pandu selamat dengan luka melepuh di kakinya. Namun keberaniannya, telah menyelamatkan tujuh anggota keluarga Ponimin.(Harian Jogja/Galih Kurniawan & Desi Suryanto)Letih dan galau masih tampak di rona wajah, Ponimin, 49, warga Kaliadem yang selamat dari amukan awan panas Merapi, Selasa (26/10) sore. Ponimin selamat bersama delapan anggota keluarga yang lain, setelah hampir empat jam dikepung debu panas. Pria yang akrab disapa Haji Ponimin itu kini dirawat di klinik milik salah satu koleganya, di kawasan Ngemplak, Sleman. Dia hanya menderita luka melepuh di kaki. Dengan kalimat tegas, Ponimin menceritakan pengalamannya menyaksikan terjangan awan panas, termasuk pengalaman spiritual yang ia alami. Usai menunaikan Salat Maghrib, seperti biasa ia masih tekun berzikir di rumahnya. Istrinya, Yati, tengah mengaji di ruang depan. Tiba-tiba datang orang tua berpakaian kejawen menyampaikan pesan akan datang awan panas yang menghancurkan desa. Paham dengan pengalaman sebelumnya, Ponimin lantas turun ke luar rumah mencari daun dadap serep dan awar-awar. Rumah yang ia tinggali hanya berjarak tak lebih dari 500 meter sebelah Timur rumah juru kunci Merapi yang ikut jadi korban Merapi, Mbah Maridjan. “Kalau dua daun itu disatukan dan kita minta kepada Tuhan, biasanya bencana tidak terjadi. Tapi saya terlambat. Istri saya terlanjur menolak orangtua. Tiba-tiba api merah menyala menyembur,” ujarnya mengenang peristiwa terjangan awan panas. Ia bersama delapan anggota keluarganya lantas berlindung ke dalam rumah, meski kaca-kaca rumah hancur. Yang ia lakukan saat itu hanya pasrah pada Tuhan dan terus memanjatkan doa di tengah ancaman badai awan panas di luar rumahnya. Ia mengaku sempat mengontak beberapa orang yang dikenalnya untuk meminta bantuan, namun tak berhasil karena kondisi kacau-balau. “Sekitar jam 22.10 kami mencoba keluar menggunakan mobil, namun tak berhasil karena roda mobil meletus terkena panas,” paparnya. Di luar, abu panas menutupi jalan setinggi kira-kira 30 cm. Gunakan bantal Sampai akhirnya terbesit dalam pikirannya menggunakan bantal tebal di rumahnya sebagai pijakan kaki untuk menuju daerah aman. Tak kurang dari 1 Km, ia bersama delapan anggota keluarganya, termasuk pemuda bernama Pandu, berjalan di atas bantal, menuju jalan aspal jauh di bawah rumahnya. Di sana, ia dijemput seorang warga yang lantas mengantarkannya menuju barak pengungsian Kepuharjo. Dari barak, ia dan keluarga dijemput ambulans yang mengantarkannya ke RS Panti Nugroho, Pakem. Cerita ini sekaligus menganulir pemberitaan di harian ini, edisi Rabu (27/10). Disebutkan Mbah Maridjan, juru kunci Merapi yang tinggal di Kinahrejo, ditemukan tim evakuasi dari TNI AL dalam keadaan selamat namun lemas. Ternyata, yang dimaksud tim evakuasi dengan Mbah Maridjan adalah Ponimin yang bertahan di tengah abu panas selama 4 jam. Ponimin sendiri mengaku siap kembali ke rumahnya jika kondisi sudah kembali normal. Ia meyakini Tuhan pasti akan memberikan kebaikan jika hamba-Nya selalu taat dan percaya. Ia tak menampik, selama ini ia kerap mendapat pesan gaib, jika akan ada bencana Merapi. Pada erupsi kali ini, ia mengaku beberapa kali didatangi orangtua berpakaian kejawen yang memintanya untuk tetap tinggal. Jika tidak, maka Keraton Yogyakarta akan dihancurkan. “Saya yakin kalau saya pergi waktu itu, Cangkringan akan terkena terjangan,” tambah dia. Dari pesan yang ia dapatkan juga, saat ini Merapi masih ada kegiatan lain yang lebih besar. Namun ia mengaku tak tahu kapan itu terjadi, apakah berlanjut dari erupsi sebelumnya atau di waktu yang lain. Bahkan dasyatnya kegiatan Merapi tersebut, kata dia, akan menyatukan Kali Boyong dan Kali Kuning. Kisah keluarga Ponimin ini sempat menyentak masyarakat, karena saat mereka terjebak di rumahnya. Beberapa orang bahkan sempat bisa menghubungi. Dan setiap pembicaraan terhubung, permohonan untuk segera dievakuasi dilontarkan. Termasuk pada Selasa (26/10) malam sekitar pukul 22.00 WIB, Harian Jogja menghubungi, Lia, putri Ponimin, yang langsung minta segera ditolong. “Nyuwun tulung Mas, kami mohon segera dievakuasi. Kami semua selamat, tapi ruangan ini panas sekali…,” pinta Lia saat itu. Cerita lain di balik penyelamatan keluarga Ponimin, adalah kisah heroik pemuda bernama Pandu Dani Nugroho, 20. Pemuda asal Wonogondang, dusun di bawah Kaliadem ini, nekad mengambil risiko menghadapi awan panas yang sudah meluluhlantakkan Kinahrejo, dengan satu tekad mengantarkan tabung oksigen buat keluarga Ponimin yang terjebak awan panas. Seperti dikisahkan Bambang, ayah Pandu, kepada Harian Jogja, tebalnya abu vulkanik yang menutup jalan membuat ia terjatuh dari motor, namun tabung oksigen tetap bisa dimanfaatkan untuk membantu keluarga tersebut. Pandu dan keluarga Ponimin baru bisa keluar dari rumah dan menyelamatkan diri ke tempat yang lebih aman sekitar pukul 22.30 WIB. Pandu selamat dengan luka melepuh di kakinya. Namun keberaniannya, telah menyelamatkan tujuh anggota keluarga Ponimin.(Harian Jogja/Galih Kurniawan & Desi Suryanto)Letih dan galau masih tampak di rona wajah, Ponimin, 49, warga Kaliadem yang selamat dari amukan awan panas Merapi, Selasa (26/10) sore. Ponimin selamat bersama delapan anggota keluarga yang lain, setelah hampir empat jam dikepung debu panas. Pria yang akrab disapa Haji Ponimin itu kini dirawat di klinik milik salah satu koleganya, di kawasan Ngemplak, Sleman. Dia hanya menderita luka melepuh di kaki. Dengan kalimat tegas, Ponimin menceritakan pengalamannya menyaksikan terjangan awan panas, termasuk pengalaman spiritual yang ia alami. Usai menunaikan Salat Maghrib, seperti biasa ia masih tekun berzikir di rumahnya. Istrinya, Yati, tengah mengaji di ruang depan. Tiba-tiba datang orang tua berpakaian kejawen menyampaikan pesan akan datang awan panas yang menghancurkan desa. Paham dengan pengalaman sebelumnya, Ponimin lantas turun ke luar rumah mencari daun dadap serep dan awar-awar. Rumah yang ia tinggali hanya berjarak tak lebih dari 500 meter sebelah Timur rumah juru kunci Merapi yang ikut jadi korban Merapi, Mbah Maridjan. “Kalau dua daun itu disatukan dan kita minta kepada Tuhan, biasanya bencana tidak terjadi. Tapi saya terlambat. Istri saya terlanjur menolak orangtua. Tiba-tiba api merah menyala menyembur,” ujarnya mengenang peristiwa terjangan awan panas. Ia bersama delapan anggota keluarganya lantas berlindung ke dalam rumah, meski kaca-kaca rumah hancur. Yang ia lakukan saat itu hanya pasrah pada Tuhan dan terus memanjatkan doa di tengah ancaman badai awan panas di luar rumahnya. Ia mengaku sempat mengontak beberapa orang yang dikenalnya untuk meminta bantuan, namun tak berhasil karena kondisi kacau-balau. “Sekitar jam 22.10 kami mencoba keluar menggunakan mobil, namun tak berhasil karena roda mobil meletus terkena panas,” paparnya. Di luar, abu panas menutupi jalan setinggi kira-kira 30 cm. Gunakan bantal Sampai akhirnya terbesit dalam pikirannya menggunakan bantal tebal di rumahnya sebagai pijakan kaki untuk menuju daerah aman. Tak kurang dari 1 Km, ia bersama delapan anggota keluarganya, termasuk pemuda bernama Pandu, berjalan di atas bantal, menuju jalan aspal jauh di bawah rumahnya. Di sana, ia dijemput seorang warga yang lantas mengantarkannya menuju barak pengungsian Kepuharjo. Dari barak, ia dan keluarga dijemput ambulans yang mengantarkannya ke RS Panti Nugroho, Pakem. Cerita ini sekaligus menganulir pemberitaan di harian ini, edisi Rabu (27/10). Disebutkan Mbah Maridjan, juru kunci Merapi yang tinggal di Kinahrejo, ditemukan tim evakuasi dari TNI AL dalam keadaan selamat namun lemas. Ternyata, yang dimaksud tim evakuasi dengan Mbah Maridjan adalah Ponimin yang bertahan di tengah abu panas selama 4 jam. Ponimin sendiri mengaku siap kembali ke rumahnya jika kondisi sudah kembali normal. Ia meyakini Tuhan pasti akan memberikan kebaikan jika hamba-Nya selalu taat dan percaya. Ia tak menampik, selama ini ia kerap mendapat pesan gaib, jika akan ada bencana Merapi. Pada erupsi kali ini, ia mengaku beberapa kali didatangi orangtua berpakaian kejawen yang memintanya untuk tetap tinggal. Jika tidak, maka Keraton Yogyakarta akan dihancurkan. “Saya yakin kalau saya pergi waktu itu, Cangkringan akan terkena terjangan,” tambah dia. Dari pesan yang ia dapatkan juga, saat ini Merapi masih ada kegiatan lain yang lebih besar. Namun ia mengaku tak tahu kapan itu terjadi, apakah berlanjut dari erupsi sebelumnya atau di waktu yang lain. Bahkan dasyatnya kegiatan Merapi tersebut, kata dia, akan menyatukan Kali Boyong dan Kali Kuning. Kisah keluarga Ponimin ini sempat menyentak masyarakat, karena saat mereka terjebak di rumahnya. Beberapa orang bahkan sempat bisa menghubungi. Dan setiap pembicaraan terhubung, permohonan untuk segera dievakuasi dilontarkan. Termasuk pada Selasa (26/10) malam sekitar pukul 22.00 WIB, Harian Jogja menghubungi, Lia, putri Ponimin, yang langsung minta segera ditolong. “Nyuwun tulung Mas, kami mohon segera dievakuasi. Kami semua selamat, tapi ruangan ini panas sekali…,” pinta Lia saat itu. Cerita lain di balik penyelamatan keluarga Ponimin, adalah kisah heroik pemuda bernama Pandu Dani Nugroho, 20. Pemuda asal Wonogondang, dusun di bawah Kaliadem ini, nekad mengambil risiko menghadapi awan panas yang sudah meluluhlantakkan Kinahrejo, dengan satu tekad mengantarkan tabung oksigen buat keluarga Ponimin yang terjebak awan panas. Seperti dikisahkan Bambang, ayah Pandu, kepada Harian Jogja, tebalnya abu vulkanik yang menutup jalan membuat ia terjatuh dari motor, namun tabung oksigen tetap bisa dimanfaatkan untuk membantu keluarga tersebut. Pandu dan keluarga Ponimin baru bisa keluar dari rumah dan menyelamatkan diri ke tempat yang lebih aman sekitar pukul 22.30 WIB. Pandu selamat dengan luka melepuh di kakinya. Namun keberaniannya, telah menyelamatkan tujuh anggota keluarga Ponimin.(Harian Jogja/Galih Kurniawan & Desi Suryanto)

Letih dan galau masih tampak di rona wajah, Ponimin, 49, warga Kaliadem yang selamat dari amukan awan panas Merapi, Selasa (26/10) sore.
Ponimin selamat bersama delapan anggota keluarga yang lain, setelah hampir empat jam dikepung debu panas. Pria yang akrab disapa Haji Ponimin itu kini dirawat di klinik milik salah satu koleganya, di kawasan Ngemplak, Sleman. Dia hanya menderita luka melepuh di kaki.
Dengan kalimat tegas, Ponimin menceritakan pengalamannya menyaksikan terjangan awan panas, termasuk pengalaman spiritual yang ia alami.
Usai menunaikan Salat Maghrib, seperti biasa ia masih tekun berzikir di rumahnya. Istrinya, Yati, tengah mengaji di ruang depan. Tiba-tiba datang orang tua berpakaian kejawen menyampaikan pesan akan datang awan panas yang menghancurkan desa. Paham dengan pengalaman sebelumnya, Ponimin lantas turun ke luar rumah mencari daun dadap serep dan awar-awar. Rumah yang ia tinggali hanya berjarak tak lebih dari 500 meter sebelah Timur rumah juru kunci Merapi yang ikut jadi korban Merapi, Mbah Maridjan.
“Kalau dua daun itu disatukan dan kita minta kepada Tuhan, biasanya bencana tidak terjadi. Tapi saya terlambat. Istri saya terlanjur menolak orangtua. Tiba-tiba api merah menyala menyembur,” ujarnya mengenang peristiwa terjangan awan panas.
Ia bersama delapan anggota keluarganya lantas berlindung ke dalam rumah, meski kaca-kaca rumah hancur. Yang ia lakukan saat itu hanya pasrah pada Tuhan dan terus memanjatkan doa di tengah ancaman badai awan panas di luar rumahnya.
Ia mengaku sempat mengontak beberapa orang yang dikenalnya untuk meminta bantuan, namun tak berhasil karena kondisi kacau-balau. “Sekitar jam 22.10 kami mencoba keluar menggunakan mobil, namun tak berhasil karena roda mobil meletus terkena panas,” paparnya. Di luar, abu panas menutupi jalan setinggi kira-kira 30 cm.
Gunakan bantal
Sampai akhirnya terbesit dalam pikirannya menggunakan bantal tebal di rumahnya sebagai pijakan kaki untuk menuju daerah aman. Tak kurang dari 1 Km, ia bersama delapan anggota keluarganya, termasuk pemuda bernama Pandu, berjalan di atas bantal, menuju jalan aspal jauh di bawah rumahnya.
Di sana, ia dijemput seorang warga yang lantas mengantarkannya menuju barak pengungsian Kepuharjo. Dari barak, ia dan keluarga dijemput ambulans yang mengantarkannya ke RS Panti Nugroho, Pakem. Cerita ini sekaligus menganulir pemberitaan di harian ini, edisi Rabu (27/10).
Disebutkan Mbah Maridjan, juru kunci Merapi yang tinggal di Kinahrejo, ditemukan tim evakuasi dari TNI AL dalam keadaan selamat namun lemas. Ternyata, yang dimaksud tim evakuasi dengan Mbah Maridjan adalah Ponimin yang bertahan di tengah abu panas selama 4 jam.
Ponimin sendiri mengaku siap kembali ke rumahnya jika kondisi sudah kembali normal. Ia meyakini Tuhan pasti akan memberikan kebaikan jika hamba-Nya selalu taat dan percaya. Ia tak menampik, selama ini ia kerap mendapat pesan gaib, jika akan ada bencana Merapi.
Pada erupsi kali ini, ia mengaku beberapa kali didatangi orangtua berpakaian kejawen yang memintanya untuk tetap tinggal. Jika tidak, maka Keraton Yogyakarta akan dihancurkan. “Saya yakin kalau saya pergi waktu itu, Cangkringan akan terkena terjangan,” tambah dia.
Dari pesan yang ia dapatkan juga, saat ini Merapi masih ada kegiatan lain yang lebih besar. Namun ia mengaku tak tahu kapan itu terjadi, apakah berlanjut dari erupsi sebelumnya atau di waktu yang lain. Bahkan dasyatnya kegiatan Merapi tersebut, kata dia, akan menyatukan Kali Boyong dan Kali Kuning.
Kisah keluarga Ponimin ini sempat menyentak masyarakat, karena saat mereka terjebak di rumahnya. Beberapa orang bahkan sempat bisa menghubungi. Dan setiap pembicaraan terhubung, permohonan untuk segera dievakuasi dilontarkan. Termasuk pada Selasa (26/10) malam sekitar pukul 22.00 WIB, Harian Jogja menghubungi, Lia, putri Ponimin, yang langsung minta segera ditolong.
“Nyuwun tulung Mas, kami mohon segera dievakuasi. Kami semua selamat, tapi ruangan ini panas sekali…,” pinta Lia saat itu.
Cerita lain di balik penyelamatan keluarga Ponimin, adalah kisah heroik pemuda bernama Pandu Dani Nugroho, 20. Pemuda asal Wonogondang, dusun di bawah Kaliadem ini, nekad mengambil risiko menghadapi awan panas yang sudah meluluhlantakkan Kinahrejo, dengan satu tekad mengantarkan tabung oksigen buat keluarga Ponimin yang terjebak awan panas.
Seperti dikisahkan Bambang, ayah Pandu, kepada Harian Jogja, tebalnya abu vulkanik yang menutup jalan membuat ia terjatuh dari motor, namun tabung oksigen tetap bisa dimanfaatkan untuk membantu keluarga tersebut. Pandu dan keluarga Ponimin baru bisa keluar dari rumah dan menyelamatkan diri ke tempat yang lebih aman sekitar pukul 22.30 WIB. Pandu selamat dengan luka melepuh di kakinya. Namun keberaniannya, telah menyelamatkan tujuh anggota keluarga Ponimin.(Harian Jogja/Galih Kurniawan & Desi Suryanto)